Senin, 13 Oktober 2008

Militer Asia Pernah Berkiblat ke TNI

Militer Asia Pernah Berkiblat ke TNI
MANTAN WAKASAD LETJEN TNI (PURN) KIKI SYAHNAKRI :

Mungkinkah negara lain menginvasi Indonesia, seperti Amerika Serikat menghajar Irak? Jawabnya: mungkin. Negara lain memiliki seribu satu alasan untuk menyerang Indonesia. Alasan utama, tentu saja, tuntutan ekonomi. Ancaman serangan bukan semata dari negara-negara besar. Negara kecil dan serumpun seperti Malaysia bisa pula melempar ancaman. Baru-baru ini, dikabarkan warga negara Indonesia (WNI) di perbatasan direkrut Askar Wataniah Malaysia sebagai prajurit paramiliter. Mereka bekerja untuk kepentingan pertahanan Malaysia.

Jika invasi itu benar-benar terjadi, mungkinkan Indonesia mampu mempertahankan diri? Jawabnya: harus. Di sinilah makna penting sebuah sistem pertahanan. Indonesia mesti memiliki sistem pertahanan untuk melindungi diri dari invasi asing.

Masih dalam bingkai sistem pertahanan, Indonesia memiliki sejumlah industri strategis yang menunjang pengadaan alat utama sistem persenjataan (alussista). PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL, adalah secuil industri yang berorientasi pada pengawalan pertahanan kedaulatan negara. Tapi, industri strategis ini sempat dimandulkan IMF (Dana Moneter Internasional) . Negara maju di belakang lembaga keuangan dunia itu tidak rela melihat Indonesia kuat secara militer dan ekonomi.

Untuk pemenuhan alutsista, PT Pindad, misalnya, telah memproduksi belasan ribu unit senapan laras panjang jenis SS2, kendaraan tempur Angkutan Personel Sedang (APS) 6x6. Pindad juga mampu memproduksi panser 6x6 yang tidak kalah hebat dibandingkan panser-panser sejenis seperti Vehiule de l'Avant Blinde (VAV) Renault Trucks, Prancis. Yang tak kalah penting adalah keberadaan 400 ribu personel TNI. Merekalah ujung tombak sistem pertahanan nasional.

Untuk mengupas lebih dalam ihwal sistem pertahanan nasional, wartawan Investor Daily Pamudji Slamet mewawancarai mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri. Selain konsisten mengembalikan fungsi pertahanan TNI, Kiki Syahnakri juga serius menolak politisasi militer. Berikut penuturannya.

Negara besar seperti Indonesia, kekuatan militernya juga harus besar. Selain untuk pertahanan, juga bisa untuk mencegah gangguan ekonomi, seperti illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining. Bagaimana menurut Anda?

Memang begitu seharusnya. Negara mana pun pasti akan meng-create suatu sistem pertahanan yang kuat untuk memproteksi dirinya. Swiss, misalnya, sistem pertahanannya dengan memiliterisasi semua rakyat, dengan menggunakan sistem total defense. Prancis pun masih menggunakan total defense.
Indonesia juga memiliki sistem pertahanan. Dan, harusnya lebih canggih dari Prancis serta Amerika Serikat (AS), karena, negara kita adalah negara kepulauan, letaknya strategis.

Bisa Anda deskripsikan lebih rinci?

Kapal induk AS dari armada ketujuh pasti lewat perairan kita. Ekspor/impor AS dari dan ke Timur Tengah juga lewat perairan kita. Enam puluh persen ekspor Australia dan 90% impor Jepang lewat perairan kita. Ciri lain adalah kekayaan sumber daya alam. Kebhinekaan negeri kita juga benar-benar luar biasa. Ada 600 lebih suku di negeri ini. Itu semua harus dilindungi sistem pertahanan yang memadai.

Apakah sistem pertahanan yang kita anut menyerupai sistem di negara lain?

Kebetulan kita sama dengan Prancis, menganut total defense. Namun kita istilahkan sistem pertahanan rakyat semesta (sishankamrata) . Prinsipnya sama, yakni mendayagunakan seluruh potensi bangsa untuk kepentingan pertahanan. Sektor industri, misalnya, dikaitkan dengan industri pertahanan. Masalahnya, sistem pertahanan kita belum terimplementasi, seperti di Prancis atau Singapura. Sampai kini, sishankamrata masih dalam tataran konsep. Kita memerlukan blueprint yang mengatur sistem pertahanan. Untuk ini, drive-nya bisa datang dari Dephan.
Komponen utama sistem pertahanan adalah TNI. Dalam sishankamrata, TNI harus mampu melakukakn tindakan pre emptive stike. Dalam doktrin sishankamrata, untuk menghadapi musuh dari luar, kalau kita yakin dia akan menyerang, kita harus menyerang lebih dulu. Ada pre emptive strike.

Kenapa Irak mudah diserang AS, karena diduga tidak memiliki pabrik senjata. Untuk menyerang RRT dan India yang memiliki pabrik senjata, AS berpikir sepuluh kali. Bagaimana RI yang sesungguhnya punya industri strategis untuk mendukung pertahanan?

Ini tentang industri strategis. Pada saat Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF, industri-industri strategis dinilai sebagai pemborosan. IMF meminta tidak perlu dikembangkan. Kita mengikuti. Sebenarnya bukan karena pemborosan, tapi mereka sengaja membuat industri strategis kita tidak berkembang. Itu adalah cara pandang negara adikuasa yang kapitalis, yang ingin menghisap kekayaan kita. Mereka tidak akan leluasa menghisap kalau Angkatan Bersenjata kita kuat.

Mungkinkah Indonesia mengalami nasib sama dengan Irak?

Kita memiliki kekayaan alam luar biasa. Sekarang, kapitalis AS ada di mana-mana, terutama di pertambangan. Kalau kepentingannya diganggu, dia pasti datang. Masalahnya, kita tidak siap untuk itu. AS tidak akan berani menyerang Tiongkok karena Tiongkok sudah siap.

Untuk membangun angkatan bersenjata diperlukan beberapa syarat. Salah satunya, angkatan bersenjata harus steril dari politik praktis. Rusak kalau angkatan bersenjata berada di kolam politik praktis.

Memisahkan angkatan bersenjata dari politik praktis adalah salah satu agenda reformasi TNI. Apakah reformasi TNI sudah optimal?

Pasti belum. Namun, dibanding institusi lain, yang lebih maju reformasinya TNI. Permasalahan bangsa ini kan bagaimana kita mengatasi kemiskinan, kebodohan, kesehatan masyarakat. Yang paling dekat dengan pekerjaan itu adalah birokrasi, parpol, dan DPR. Jadi, seharusnya yang direformasi adalah birokrasi dan parpol. Jangan TNI terus yang dikejar-kejar.

Presiden kita kan militer, pasti tahu persis kebutuhan TNI?

Pak Harto dulu, TNI juga, tapi dia tidak lakukan penguatan TNI.

Kenapa Pak Harto tidak mau melakukan?

Sebenarnya, TNI kita dulu, sangat kuat. Pada waktu perebutan Irian Barat, era 1960-1965, alutsista kita sangat bagus, dari Rusia. Angkatan bersenjata kita terkuat di Asia Tenggara, bahkan di Asia. Namun, setelah pemberontakan G30S, kita berhadapan dengan komunis, Rusia. Ujung-ujungnya, Rusia tidak memberi spare part dan yang lain.
Kendati begitu, TNI masih disegani. Buktinya, Malaysia melatih satu batalyon kopaskhas-nya (satuan lintas udara) di Batujajar, Bandung. Waktu itu kita menjadi kiblat dari profesionalisme militer di kawasan Asia Tenggara. Profesionalisme kita dianggap berkualitas, padahal senjata kita sudah rontok.

Senjata sudah rontok, tapi masih disegani?

Kenapa Malaysia tidak bersedia dilatih oleh AS atau Inggris? Karena tentara mereka mengerti betul berapa Gurkha (tentara Inggris keturunan Nepal) yang bisa dibunuh oleh TNI. Berapa pula tentara Australia yang berhasil dibunuh oleh RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) dalam konfrontasi Dwikora.
Namun, ketika TNI mulai intens di politik praktis, mendapat previlege menjadi gubernur dan bupati, kemampuan militer pun terlupakan.

Budaya politik praktis seperti apa yang merusak TNI?

Kerusakan terjadi seiring masuknya budaya poolitik ke tubuh TNI. Dalam budaya politik, siapa yang kuat, dialah yang kita gantoli (gantungi). TNI pun begitu. Akhirnya, karakter (ke-TNI-an)- nya rusak. Dalam buku Hermawan Sulistyo (peneliti LIPI) yang berjudul 'Lawan', ditulis, TNI mengalami degradasi profesionalitas, military competence serta military character. Itu susah diperbaiki. Harus ada sterilisasi politik dan purifikasi militer.

Setelah steril dari politik praktis, langkah apa lagi yang harus diprioritaskan untuk mewujudkan angkatan bersenjata yang kuat?

Anggaran. Selama ini, anggaran angkatan bersenjata amat minim, terutama di Angkatan Darat (AD). Ibarat selimut, ditarik ke atas, di bawah nggak ketutup. Ditarik ke bawah, atas nggak ketutup. Padahal, untuk memelihara kompetensi militer harus melalui pendidikan spesialisasi dengan anggaran besar, biar ada ahli bom, ahli senjata, ahli pionir, ahli perhubungan, dll.

Kenapa pemerintah tidak menaikkan saja anggaran militer RI?

Saya pikir anggaran militer tidak boleh asal dinaikkan. Harus ada terlebih dahulu blueprint pertahanan Indonesia. Dari situ, kita mengetahui arah pengembangan pertahanan kita.

Keterbatasan anggaran mungkin bisa diatasi dengan skala prioritas?

Masalahnya, ada tarik menarik antara pengembangan pendidikan spesialisasi (dikspes) dengan pendidikan pembentukan (diktub). Karena tidak bisa memenangkan dikspes, akhirnya diktub yang mendapat anggaran. Pertimbangannya, tanpa diktub sulit menambah batalyon. Akibatnya, keahlian personel TNI makin hilang.
Menurut saya, anggaran pembelian alutsista, bisa bertahap. Tetapi anggaran pelatihan dan pendidikan tidak boleh dikurangi. Saya sudah sampaikan kritik kepada Panglima TNI (Jenderal Djoko Santoso), waktu masih menjadi KSAD. Saya bilang, jangan mengembangkan satuan (seperti pembentukan batalyon, kodim). Itu menambah beban biaya.
Saya ingatkan, memelihara tentara dalam jumlah besar, namun berkualitas jelek, berbahaya. Pendidikan menembak yang seharusnya ribuan kali, karena tidak ada biaya, hanya puluhan kali. Lalu kesejahteraannya juga jelek.
Nah, Pak Djoko Santoso (Panglima TNI sekarang), rupanya paham, maka dalam Rapim, salah satu kebijakannya adalah mengembangkan kemampuan.

Sebagai negara kepulauan, apakah ke depan Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang perlu dikembangkan? Lalu, mungkinkah dominasi Angkatan Darat dikurangi?

Doktrin sishankamrata, selalu dimulai dari pre emptive strike (memukul lebih dulu). Itu hanya bisa dilakukan oleh Angkatan Udara, bukan Angkatan Darat. Lalu ada pertempuran laut teritorial, yang hanya bisa dilakukan oleh Angkatan Laut. Angkatan Darat baru terlibat, setelah serangan lawan masuk ke pantai dan darat. Jadi, doktrinnya memang mengharuskan kita memiliki AL dan AU yang kuat. Doktrin Angkatan Darat adalah menjaga pertahanan pulau-pulau besar.

Lalu, mengapa muncul penilaian bahwa penguatan TNI lebih condong ke Angkatan Darat?

Orde Baru menggunakan Angkatan Darat untuk kepentingan politik. Anggaran yang keluar, pada saat itu, bukan untuk anggaran pertahanan, tetapi untuk anggaran kekaryaan dan lain sebagainya.

Ini soal nama Anda. Kabarnya nama Syahnakri terkait dengan konsep negara kesatuan?

Saya lahir pada 1957, bertepatan dengan perjanjian Linggarjati. Dalam perjanjian itu, secara defacto Indonesia sudah berdaulat. Karena orang tua saya orang pergerakan, keyakinannya kepada kedaulatan dipertegas pada nama saya. Kata Syah berarti 'resmi'. Na dalam bahasa Sunda berarti 'nya', sedangkan KRI adalah Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, Syahnakri berarti resminya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi saya, nama itu sangat berpengaruh dan teramat istimewa.

Sumber : http://komid.net/forums/showthread.php?t=2983 (20-02-08)


Tidak ada komentar: